Senin, 01 April 2013

Perjuangkan Suara Rakyat, Bukan Bayaran!

REPORTER : ARIE APRIADI SAPUTRA
EDITOR : ARSYAD HAKIM

Mahasiswa bagai dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan dengan aksi demonstrasi. Demonstrasi pada dasarnya adalah hak menyuarakan aspirasi (freedom of speech). Namun, belakangan ini berkembang isu akan adanya demo bayaran. Benarkah demikian?

Idealnya penyampaian aspirasi haruslah benar-benar menyuarakan suara rakyat. Suara-suara yang menunjukkan keprihatinan atas kepastian dan jaminan hukum untuk rakyat. Tanpa ada intervensi dari oknum-oknum tertentu yang berusaha mengambil keuntungan dari berjalannya hukum.

Jika kita perhatikan dari demo-demo yang berkembang, kita bisa telusuri dari mana para pendemo ini dan akan mengaspirasikan apa? Dan apakah ini demonstrasi bayaran atau betul-betul menyuarakan hak rakyat?
Bagi mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM), Matra Perkasa, jika ada demonstran seperti itu, sudah menyimpang dari peranan mahasiswa yang sebenarnya.

"Pada dasarnya, mahasiswa adalah kaum intelektual muda yang selalu saja “menampar” para pemangku jabatan yang terlena atau menyimpang dari kekuasaannya. Mahasiswa bayaran atau mahasiswa yang suka menjalankan demonstrasi bayaran itu, juga terlena dengan apa yang dijanjikan oleh pihak-pihak tertentu dan mengabaikan tugas mahasiswa yang seharusnya," urai mahasiswa jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) ini.

Hal senada disampaikan Ananda Amalia Rusfa. Menurut mahasiswi Unhas jurusan Administrasi Negara ini, sangat disayangkan  jika ada demo seperti itu. Apalagi, biasanya yang jadi sasaran ikut demonstrasi itu adalah junior-junior atau mahasiswa baru yang dipaksa oleh seniornya. Padahal mereka (junior, red) tak tahu apa-apa.

"Itu sangat salah sekali dan sangat disayangkan. Karena, mahasiswa baru yang tidak tahu apa-apa biasanya jadi sasaran untuk ikut turun ke jalan karena dipaksa seniornya ikut demonstrasi,” ungkap cewek kelahiran Makassar, 15 Desember 1992 ini.

Berbeda, Adil Patawai Anar, menganggap mahasiswa bayaran itu sebagai sampah pergerakan. Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar ini berpendapat, kalau ada mahasiswa seperti itu pemikirannya telah dikotori oleh budaya-budaya pragmatis dan menganggap uang adalah kebenaran.

"Saya menyebut mahasiswa bayaran itu sebagai pelacur pergerakan. Karena uang mereka rela menjual idealisme demi sebuah kepentingan tanpa mau tahu esensi sebuah persoalan. Seharusnya mahasiswa itu demonstrasi karena hati nurani dan suara rakyat, bukan karena uang," tutur cowok yang menjabat sebagai bendahara di Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (HIMIKOM) UMI ini. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar